" Oleh Muhammad Rifai Karim Mahasiswa Semester Empat Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate" Negara sering kali dikatakan seba...
Negara sering kali dikatakan sebagai lembaga netral yang berdiri di atas semua golongan dan mengabdi pada kepentingan umum. Namun, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Sejarah Indonesia mencerminkan bahwa kekuasaan negara lebih banyak berpihak kepada elite politik dan ekonomi, sementara rakyat justru menjadi korban dari berbagai kebijakan yang tidak adil.
M. Rifai Karim menjelaskan bahwa, Jika kita melihat era Orde Lama (1945–1966), sistem ekonomi terpimpin yang diterapkan oleh Soekarno bertujuan untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional. Sayangnya, dalam praktiknya, kebijakan ini justru menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok secara drastis. Pengelolaan ekonomi yang buruk, ditambah dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan represivitas terhadap oposisi, membuat rakyat semakin terpinggirkan. Negara tidak bertindak netral, melainkan berpihak pada kelompok yang berkuasa. Rabu (19/3/2025)
Rezim Orde Baru (1966–1998) yang menggantikan Orde Lama juga tidak memberikan jaminan netralitas negara. Pemerintahan Soeharto memperkuat sentralisasi kekuasaan dan membungkam kritik dengan represif. Kebijakan ekonomi yang mendorong eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan dan Papua memang memberikan pemasukan besar bagi negara, tetapi pada saat yang sama merugikan masyarakat adat dan merusak lingkungan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela, memperkaya segelintir elite sementara rakyat tetap menderita.
Era Reformasi membawa harapan baru, tetapi harapan itu tampaknya masih jauh dari kenyataan. Korupsi tetap terjadi, ketimpangan ekonomi semakin tinggi, dan oligarki masih mencengkeram politik kita. Hingga sekarang netralitas negara masih saja di pertanyakan. Seperti kebijakan tentang Pemotongan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan semakin membebani masyarakat, sementara kenaikan pajak dan kebijakan ekonomi justru lebih menguntungkan para pemilik modal besar. Semua ini menunjukkan bahwa negara masih berpihak kepada kelompok tertentu, bukan kepada rakyat secara keseluruhan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana ideologi kekuasaan telah ditanamkan ke dalam masyarakat. Negara menggunakan dalih “demi kepentingan umum” atau “demi pembangunan nasional” untuk membenarkan kebijakan yang pada kenyataannya lebih menguntungkan elite. Akibatnya, masyarakat cenderung diam dan menerima keadaan ini tanpa perlawanan yang berarti. Jelasnya.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus bersikap kritis terhadap negara dan kekuasaan. Sikap kritis bukanlah bentuk ketidakpatuhan, melainkan wujud kecintaan terhadap negeri ini. Tanpa sikap kritis, kita hanya akan menjadi korban dari sistem yang terus berpihak kepada segelintir orang. Sejarah telah menunjukkan bahwa netralitas negara masih jauh dari kenyataan, dan tugas kita sebagai warga negara adalah memastikan bahwa kekuasaan benar-benar dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan elite penguasa. Tutupnya (Aa)
Tidak ada komentar