KoranMalut.Co.Id - Kalangan mahasiswa Hukum STAI Alkhairaat Labuha kembali menunjukkan kepedulian mereka terhadap dinamika politik lokal, kh...
KoranMalut.Co.Id - Kalangan mahasiswa Hukum STAI Alkhairaat Labuha kembali menunjukkan kepedulian mereka terhadap dinamika politik lokal, khususnya terkait dugaan keterlibatan Kepala Desa (Kades) Dowora, Eli Saleh, dalam politik praktis menjelang Pilkada. Desakan ini muncul setelah informasi yang beredar luas di media terkait dugaan penyalahgunaan bantuan sosial (Bansos) oleh Kades Dowora, yang dianggap melanggar ketentuan yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Juhardin Abdul Azis, mahasiswa Prodi Hukum STAI Alkhairaat, mengungkapkan keprihatinannya mengenai dugaan keterlibatan Eli Saleh dalam pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diduga terjadi dengan motif politik, menjelang Pilkada yang dijadwalkan pada 27 November 2024. "Informasi yang kami terima melalui media mandiolinews.com, disertai dengan video berdurasi 3 menit 40 detik, menunjukkan penolakan masyarakat Desa Dowora terhadap pembagian Bantuan Sosial oleh Eli Saleh. Kejadian ini semakin mencurigakan mengingat kedekatannya dengan momentum Pilkada," ungkap Juhardin.
Lebih lanjut, Juhardin menyoroti bahwa pembagian bantuan sosial yang dilakukan oleh Kepala Desa menjelang Pilkada jelas bertentangan dengan aturan yang berlaku. "Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, telah meneken surat larangan penyaluran bansos pada 13 November 2024. Jika seorang Kepala Desa, seperti Eli Saleh, tetap melakukan tindakan ini, itu jelas melanggar surat edaran Mendagri yang sudah diteken dan diturunkan kepada pemerintah daerah," tegas Juhardin.
Juhardin juga menekankan bahwa Kepala Desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, baik dalam Pemilu maupun Pilkada, sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas pejabat desa, yang seharusnya menjadi panutan dalam pemerintahan desa. Terlibatnya Kades dalam politik praktis dapat memicu konflik kepentingan dan merusak pelayanan publik," paparnya.
Aturan tegas dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 29 huruf (g) dan (j), melarang Kepala Desa untuk menjadi pengurus partai politik atau terlibat dalam kampanye Pemilu/Pilkada. Selain itu, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 280 ayat (2) dan (3), jelas melarang Kepala Desa dan perangkat desa untuk ikut serta dalam tim kampanye atau kegiatan kampanye pemilu.
Juhardin juga mengingatkan bahwa jika terbukti melanggar, Kepala Desa dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, tertulis, atau bahkan pemberhentian. Bahkan, dalam kasus yang lebih berat, Kepala Desa yang terlibat politik praktis bisa dipidana sesuai dengan Pasal 490 UU Pemilu dengan ancaman hukuman penjara maksimal satu tahun dan denda hingga Rp 12 juta.
Sebagai tindak lanjut, Juhardin mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Halmahera Selatan untuk segera melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini. "Kami berharap Bawaslu tidak tinggal diam. Sesuai dengan Pasal 101 UU Pemilu, Bawaslu harus mengawasi netralitas semua pihak, termasuk Kepala Desa, serta mencegah praktik politik uang yang bisa merusak proses demokrasi," kata Juhardin.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga Pilkada yang damai, adil, dan makmur. "Keutuhan demokrasi harus tetap dijaga, dan jangan sampai ada pihak-pihak yang merusak dengan memainkan politik praktis yang merugikan masyarakat," tandasnya.
Masyarakat berharap agar pemerintah daerah, khususnya Bawaslu, segera menindaklanjuti temuan ini agar tercipta Pemilu dan Pilkada yang bebas dari praktik-praktik yang dapat merusak proses demokrasi di desa
Tidak ada komentar