" Harga yang harus dibayar untuk kenyamanan adalah kebebasan untuk berpikir." Oleh: Comune dan Kamrad. KoranMalut.Co.Id - Tida...
"Harga yang harus dibayar untuk kenyamanan adalah kebebasan untuk berpikir."
Oleh: Comune dan Kamrad.
KoranMalut.Co.Id - Tidak ada yang lebih mendatangkan kekuasaan kepada penjual, selain pengetahuan bahwa pembeli sangat memerlukan barang dagangannya.” (Multatuli) Bahasan tentang problem HmI hampir menjadi masalah klasik yang membosankan. Dominasi wacana dalam tubuh Himpunan lebih pada masalah internal yang tak kunjung selesai, aib Himpunan yang seharusnya diselesaikan di kamar keluarga organisasi justru diumbar bak masalah perselingkuhan yang akhir-akhir ini ramai di beranda publik.
Mirisnya, yang mengumbar aib organisasi adalah mereka yang berada dalam formasi kepengurusan (jabatan) tapi lebih memilih mengumbar diluar rumah, entah sebagai ajang cari muka atau mengharapkan dukungan komentar untuk membenarkan dirinya sebagai pihak yang benar. Sengaja tulisan ini dipublis karena sebagai anggota biasa yang jauh dari kerumunan senior-junior tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dihadapan para kakanda-kakanda tersohor yang menduduki jabatan strategis di Himpunan ini.
Olehnya keadaan mengharuskan untuk sedikit mengumbar aib kadernya (Bukan Organisasi) dengan harapan kita semua bisa kembali ke Khittah HmI yang dirintis oleh pendiri Himpunan ini.Jujur, ada kebanggaan tersendiri ketika ditetapkan oleh pengurus cabang sebagai anggota sah HmI. Kebanggaan itu saya sematkan pada strukturisasi materi HmI yang terhubung secara filosofis dan keilmuan yang muatan materinya secara substansial mendorong kader HmI agar memahami esensinya sebagai mahluk spiritual (hablumninallah), mahluk Sosial (habluminannas) dan mahluk ekologis (hablumninal’alam).
Namun harapan kebanggaan itu runtuh ditengah jalan, ketika tradisi seniorisme mengakar dalam setiap agenda HmI. Senioritas dalam arti positif memang memiliki peran untuk mengoptimalkan perkaderan, tapi, sejauh pengamatan saya, nuansa dan warna tradisi itu mengarah pada kelompok tunduk dan patuh yang sering di istilahkan dengan “Gerbongisme”
Senior merasa dirinya berkuasa, unggul dan maha benar, apapun yang dikatakan senior adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah oleh epistemologi manapun, termasuk firman Tuhan dan Sabda nabi sekalipun.
Secara tidak langsung senior mengangkat dirinya sebagai tuhan dan memperhamba kader dijadikannya sebagai penyembah berhala (Syirik). Padahal dalam rumusan NDP sebagai dasar perjuangan HmI telah mengafirmasikan sebuah larangan untuk tidak menuhankan tuhan selain Dia dan mengangkat diri kita sebagai tuhan. Independensi Etis dan Organisatoris dalam kerangka materi HmI hanya dijadikan sebagai bahan Onani yang terus di pertontonkan, NDP pun mengalami hal yang sama, jatuh dalam kubangan busuk strategi politik oleh alumni superior yang berkuasa, unggul dan maha benar dengan segala fatwanya.
Sekali lagi, menjadi kader HmI merupakan kebanggan tersendiri dalam kehidupan Mahasiswa. Rasa bangga memiliki ribuan alumni gede yang menyebar di berbagai daerah dengan profesinya masing-masing ,bangga memiliki ribuan alumni tersohor yang bekerja di perusahaan, bangga dengan dengan deretan kader yang mengantri menjadi penerus tradisi fetisisme, feodalisme yang kerjanya membeo, tunduk dan patuh pada alumni yang berkuasa.
Mengutip sub judul dalam satu tulisan yang ditulis oleh “Anonim” dan kawan-kawan Komune dan Kamerad “ Waspadahal terhadap Mitos Seniorisme dan Gerbongisme” ia memberikan sebuah ultimatum bahwa tradisi perkaderan HmI saat ini tidak lain sebagai upaya merekrut kader muda untuk bergabung dalam Gerbong yang telah dibentuk oleh senior besar terdahulu. Senior diatas senior, yang secara kapasitas memiliki modal materi melebihi pendapatan 200 juta rakyat Indonesia perhari.
Senior seperti itu akan menjadi penentu kebijakan sekaligus arah organisasi ini kemana, bagaimana tidak, kader-kader yang ia rekrut sebagian besar menduduki jabatan strategis dalam formasi kepengurusan HmI baik di Komisariat, Korkom, Cabang, Badko hingga PB.
Hal yang pasti dalam Kontestasi politik HmI adalah Invasi Intervensi alumni dari lembah manapun, bahkan ekstrimnya alumni yang sudah dialam kubur sekalipun masih saja turut memberikan fatwa atas nama kepentingan seniorisme. Alhasil, kemerdekaan dan independensi kader aktif yang selama ini digaungkan sebagai karakteristik kader HmI kini menjadi narasi kosong yang nihil makna, rasa bangga dan superioritas sebagai kader tiba-tiba pupus oleh karena tradisi buruk yang baru saja diketahui. Tapi apa boleh buat, kesadaran spontan dari kader biasa mana mungkin melawan firman senior yang maha benar.
Mengawal Konferensi HmI Cabang Ternate
Istilah Turun Gunung akhir-akhir ini menjadi hangat ditengah jalanya Konferensi HmI Cabang Ternate, narasi ini sering disematkan pada mereka yang menganggap diri mereka besar dan 10 kali lebih tinggi dari HmI cabang.
Secara pribadi merasa malu dan takut bisa-bisanya kalimat itu dipilih sebagai istilah yang mendukung mereka, seakan mereka paling besar dari Himpunan ini, tai kuciiiing!
Membaca skema politik Konferensi HmI Cabang Ternate ada dua kemungkinan yang akan muncul secara bertahap, Pertama: Adu strategi dan Taktik, Kedua Adu Jotos. Bahwa fetisisme kekuasaan telah menyetir Konferensi HMI Cabang Ternate Forum yang seharusnya menjadi ajang melempar gagasan dan mengeluarkan kritik terhadap proker-proker demi dilakukannya perbaikan, justru hanya menitikberatkan soal ganti pemimpin. Makanya Konferensi kemudian menjadi wahana vulgar yang menghasilkan nilai-guna dan nilai-tukar.
Seruan kepada seluruh kader HmI agar menjaga marwah Organisasi ibarat suara adzan, Menyadari panggilan itu sebagai panggilan Tuhan tapi enggan melakukanya karena tidak adanya kesadaran yang mumpuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan terus berdoa, semoga deretan alumni bisa sadar diri, bahwa Konferensi HmI Cabang mestinya membawa kepentingan Universal bukan kepentingan Seniorisme-Gerbongisme yang sempit!!.**(red)
Tidak ada komentar