Oleh: Berlian Anugrahaeni. K, SE, MM, (PSM Ahli Madya Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi). KoranMalut.Co.Id - Tujuan Pembangunan Berkela...
Oleh: Berlian Anugrahaeni. K, SE, MM, (PSM Ahli Madya Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi).
KoranMalut.Co.Id - Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) adalah kebijakan Nasional yang diadopsi berdasarkan hasil kesepakatan Internasional. TPB/SDGs bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai wujud komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan SDGs, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Peningkatan kesejahteraan melalui SDGs, di Indonesia 86 Persen Dari 74.961 Desa Di Indonesia Berbasis Ekonomi Pertanian Dan sisanya Nelayan Sekitar 14 Persen. Dengan Basis Ekonomi Desa Ini menurut Menteri Desa Halim Iskandar, menilai sumbangan PDB dari desa seharusnya meningkat. Jika PDB desa naik tiga kali lipat maka indonesia semakin maju, bisa lebih tinggi. Beberapa Indikator keberhasilan SDGs dalam skala nasional , oleh Kementerian Desa, PDTT menjadi Acuan Dasar bagaimana program SDGs tersebut dapat menyasar hingga Ke Desa-Desa melalui implementasi SDGs Desa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Mencatat Jumlah Penduduk Miskin Di Indonesia Pada Maret 2020 Mencapai 26,42 Juta Orang. Dibandingkan Dengan Maret 2019, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Meningkat Sebanyak 1,28 Juta Orang. Persentase Penduduk Miskin Pada Maret 2020 Tercatat Sebesar 9,78 Persen, Meningkat 0,37 Persen Dari Maret 2019. Sedangkan Berdasarkan Daerah Tempat Tinggal, Persentase Tingkat Kemiskinan Di Desa Pada Maret 2020 Sebesar 12,82 Persen, Turun 0,03 Persen Dari Bulan Maret 2019 Yang Mencapai 12,85 Persen, Sedangkan Tingkat Kemiskinan Di Wilayah Kota Malah Naik 0,69 Persen, Dari 6,69 Persen Menjadi 7,38 Persen. Dari Data Tersebut Pedesaan Mencatat Jumlah Kemiskinan Yang Jumlahnya Jauh Lebih Besar Di Banding Di Perkotaan
Tugas dan Fungsi Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 113/P Tahun 2Ol9 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2Ol9-2O24 dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, maka ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2o2o Tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi. Pada Pasal 4 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Pada intinya Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dalam kontek desa memiliki tugas di bidang pembangunan desa dan Pemberdayaan masyarakat desa. Upaya mendorong dan memerikan arah pembangunan desa, maka di ditetapka SDGs Desa sebagai implementasi Tujuan Pembanguan Berkelanjutan yang diimplemntasikan di desa.
Dalam hal menjalankan fungsi kementerian terhadap pengelolaan sampah di desa terdapat 2 indikator untuk menilainya yaitu aspek fisik dan tata kelola. Aspek fisik yang menjadi tolok ukur terdiri dari tiga dimensi, yaitu proses pengumpulan sampah (aspek kesehatan publik), perlakuan sampah (aspek lingkungan yang terkontrol), dan implementasi prinsip 3R (pengurangan/reduce, penggunaan kembali/reuse, dan pendaur ulang/recycle, yang termasuk aspek penghargaan terhadap sumber daya). Aspek tata kelola juga memiliki tiga dimensi, yaitu inklusivitas dari sisi pengguna dan penyedia jasa, keberlanjutan penganggaran/finansial, dan aspek kelembagaan dan kebijakan yang proaktif (kerangka kerja nasional dan kelembagaan di tingkat lokal).
Selain tolok ukur tersebut, evaluasi kinerja pengelolaan sampah menuju konsep nol sampah dapat menggunakan indikator yang berkenaan dengan isu (i) penyadaran individu, pendidikan, dan perubahan perilaku, (ii) penghindaran sampah, (iii) pengumpulan sampah, (iv) kebijakan dan peraturan pendauran ulang sampah, (v) teknologi pengolahan sampah, (vi) pengurugan sampah, (vii) kebijakan bagi industri, dan (viii) isu berkenaan dengan strategi nol sampah.
Penilaian terhadap Kedua aspek indikator tersebut akan berdapak pada pencapaian SDGs Desa.
SDGs Desa arah Pembangunan Desa
SDGs Desa menjadi strategi pencapaian mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Implementasi SDGs Desa dituangkan melalui Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan secara operasional dituangkan dalam Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor 7 Tahun 2021 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2022, dimana regulasi prioritas penggunaan dana desa diterbitkan setiap tahunnya.
Tujuan pembangunan Desa disebutkan pada Pasal 78 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia, serta penanggulangan kemiskinan.
Upaya pencapaian penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dapat dilakukan melalui peningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) desa melalui peningkatan PADes, dan hal tersebut sesungguhnya bisa dilakukan melalui pengelolaan sampah di desa, sebagai potensi meningkatkan kesejahteraan sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup di desa agar menciptkan keberlanjutan pembangunan kesejahteraan di desa.
Dalam hal penanganan sampah seiring tujuan SDGS Nomor 12 mentargetkan diantaranya pada tahun 2030 dapat mencapai manajemen berkelanjutan dan penggunaan yang efisien dari sumber daya alam, mengurangi separuh jumlah dari sampah pangan global perkapita pada tingkat retail dan konsumen dan mengurangi kerugian makanan sepanjang produksi dan rantai penawaran, termasuk kerugian paska panen, mengurangi produksi limbah melalui tindakan pencegahan, pengurangan, daur ulang dan penggunaan kembali.
Selanjutnya secara operasional merespon pengurangan sampah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan ini mentargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebesar 30% pada 2025. Berdasasaran data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia (2018) yang menunjukkan masih rendahnya, rumah tangga yang melakukan daur ulang sampah hanya 1,2% .
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada pasal 15 disebutkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Dengan demikian masyarakat secara mandiri bisa diajak untuk dapat melakukan identifikasi dan mempublikasikan merek kemasan sampah plastik yang ada di lingkungannya. Ini berguna memberikan penekanan pada industri (produsen) untuk ikut bertanggung jawab atas kemasan produknya. ( Ihsannudin dan Zeng Sih Ping)
Pengelolaan dan penanganan sampah di desa sesungguhnya merupakan upaya dalam rangka pencapaian tujuan SDGs, terutama tujuan SDGs Desa Nomor 12 Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan yaitu berkaitan dengan upaya mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan terhadap bumi melalui pola produksi dan konsumsi yang sewajarnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting dalam mewujudkan kesejahteraan warga. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang diciptakan harus mempertimbangkan keberlanjutan. Oleh karena itu, diperlukan langkah pengurangan jejak ekologi dengan mengubah cara memproduksi dan mengkonsumsi makanan dan sumber daya lainnya.
Efisiensi dalam pengelolaan sumber daya alam milik bersama, serta upaya mengurangi sampah beracun dan polutan adalah target penting untuk meraih tujuan ini. Salah satunya dengan mendorong warga, dunia usaha, serta konsumen untuk mendaur ulang dan mengurangi sampah. Untuk itulah, diperlukan pergeseran aktivitas produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan.
Penanganan sampah di perkotaan lebih terdata dibandingkan di perdesaan. Di perkotaan dibangun Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Namun hal tersebut tidak terjadi di perdesaan. Berikut menunjukkan persentase rumah tangga di perkotaan berdasarkan cara penanganan sampah yang paling sering dilakukan (BPS, 2017). Data Sunsenas Tahun 2017, BPS Cara Penanganan sampah oleh Rumah Tangga diantanya dilakukan sebagai berikut : Dibuat kompos/pupuk 0,30 %, Didaur ulang 0,13 %, Disetor ke bank sampah 0,61 %, Sampah diangkut petugas 40,25 %, Dibuang ke TPS 17,30 %, Dibuang sembarangan 0,98 % Ditimbun/dikubur 1,11 %, Dibuang ke sungai/got/selokan 2,74 %, Dibakar 35,81 %, Lainnya 0,76 %.
Berdasarkan Word Commission on Environment and Development (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dispesifikan dalam Brundtland Report (WCED, 1987) dalam tiga aspek yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dari perspektif ekonomi, maka dipertimbangkan cara untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Kebijakan Pengelolaan sampah, seperti bank sampah dapat dijadikan upaya mengurangi jumlah timbunan sampah yang dimuat ke TPA dan membantu perekonomian masyarakat, yangmana hasil penjualan sampah disimpan dalam bentuk tabungan di bank sampah. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berkelanjutan dapat memengaruhi tercapainya target SDGs, terutama SDGs ke 1, 8 dan 12.
Dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dari perspektif lingkungan, sistem pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dapat memberi kontribusi bagi terwujudnya kota berkelanjutan, karena dengan pengelolaan sampah berwawasan lingkungan akan terciptanya lingkungan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berkelanjutan dapat memengaruhi tercapainya target SDGs, terutama SDGs ke 3, 7, 13, 14, dan 15.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022 menjelaskan prioritas pembangunan desa melalui dana desa dapat difokuskan pada 4 (empat) poin penting yaitu Pencapaian SDGs Desa, Pemulihan Ekonomi Nasional, Program Prioritas Nasional, serta Mitigasi dan Penanganan Bencana Alam dan Non Alam. Prinsip dasar penggunaan dana desa tahun 2022 adalah mewujudkan pembangunan desa yang berkelanjutan. Prinsip desa berkelanjutan adalah pembangunan desa untuk pemenuhan kebutuhan dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera di masa sekarang hingga masa depan.
Dalam konteks SDGs Desa pengelolaan sampah di Desa pada sisi praksis pada umumnya memenuhi aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan demikian pengelolaan sampah terpadu dan berkelanjutan di Desa dapat mendorong pencapaian SDGs Desa Nomor 1, 2, 3, 5, 8, 11, 12, dan 17. Pencapaian tujuan SDGs Desa melalui pengelolaan sampah yang terpadu dan berkelanjutan mendorong pertumbuhan ekonomi, kebersihan lingkungan, kesehatan, peran perempuan dan pola kemitraan kelompok masyarakat/komunitas, kelembagaan di Desa dengan pihak lainnya.
Pemberdayaan dalam pengelolaan sampah di Desa
Pasal 112 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 telah mengamanahkan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat desa dengan meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Pasal 127 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 pun mengamanahkan pemberdayaan masyarakat desa dilakukan dengan menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa
Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 126 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa adalah memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi, dan lingkungan.
Secara operasional Pendekatan pemberdayaan masyarakat merujuk Peraturan Menteri Desa, PDTT Nomor 21 tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Pemberdayaan Masyarakat Desa didefinisikan sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Menurut Mardikanto (2013:100) Pemberdayaan masyarakat adalah proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada di semua stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.
Menurut Sumaryadi (2005: 111), pemberdayaan masyarakat adalah upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan langkah upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan sosial berkelanjutan.
Teori mengenai tahap pemberdayaan yang lain yakni tiga tahapan dalam proses pemberdayaan masyarakat diungkapkan oleh Randy R Wrihatnolo dan Rianto Nugroho sebagai berikut :
1. Tahap Penyadaran, memberikan pemahaman terkait hak untuk menjadi mampu dan memotivasi mereka agar keluar dari kemiskinan, biasanya tahap ini dilakukan dengan pendampingan.
2. Tahap pengkapasitasan, memampukan masyarakat kurang mampu agar memiliki ketrampilan untuk mengambil peluang yang diberikan dengan melakukan pelatihan – pelatihan, dan kegiatan yang memiliki tujuan meningkatkan lifeskill.
3. Tahap Pendayaan, tahap dimana masyarakat diberi peluang sesuai kemampuan
Pada prakteknya seperti yang dilakukan di Desa Cadassari, Desa Gandasoli, Desa Sembungan dan Desa Kalimendong, pengelolaan sampah didesa bukan hal yang tiba-tiba tetapi dibangun melalui proses membangun kesadaran masyatrakat. Membangun kesadaran masyarakat desa tidaklah mudah. Perlu kerja sama dari semua pihak, baik warga, pemerintah desa maupun pihak ketiga sebagai pendukung. Proses kesadaran membutuhkan waktu, serta diperlukan pula contoh serta teladan yang positif dan konsistensi dari pihak pengambil kebijakan. Kegiatan sosialisasi tentang pengelolaan sampah dapat mendorong partisipasi masyarakat desa dalam hal pengelolaan persampahan, hal itu juga dapat didukung dengan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat mendukung peningkatan kesadaran.
Pengelolaan sampah secara efektif dapat dimulai dari pengelolaan dengan memilah sampah secara mandiri oleh tiap keluarga. Pengelolaan sampah dapat dipilah menjadi sampah layak jual dan layak buang. Pada tahap awal gerakan yang dilakukan adalah dengan memberi bekal kemampuan pada masyarakat agar mampu dan memiliki kesadaran melakukan pemilahan sampah secara mandiri. Sosialisasi mengenai cara pemilahan sampah ini akan sangat penting dalam menambah wawasan dan memberikan inspirasi peluang ekonomis dibalik pengelolaan sampah secara mandiri, berkelompok, berjejaring dan berkelanjutan.
Studi Pengelolaan Sampah di Desa dan Kabupaten
Pengelolaan sampah di Kabupaten Purwakarta diatur melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam rangka upaya menuju Kabupaten Purwakarta bebas sampah, terdapat tiga program yaitu, program Bank Sampah Induk (BSI) hasil kerjasam dengan KLHK, program Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) yang merupakan hasil kerjasama dengan Kementerian PUPR dan program Tempat Pengolahan Sampah terpadu (TPST) dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi.
Terdapat 50 Bank Sampah Unit (BSU) yang tersebar disejumlah wilayah dan 1 Bank Sampah Induk (BSI), kebijakan strategi pengelolaan sampah dapat tercapai secara maksimal. Bank sampah ini sesuai dengan misi pengelolaan sampah secara keberlanjutan. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi tiga aspek, yaitu aspek lingkungan, sosial budaya masyarakat dan ekonomi. Meski bank sampah masih perlu banyak peningkatan, tapi menurutnya, itu sangat berperan dalam piramida keberlanjutan tadi.
Untuk TPS3R, di Kabupaten Purwakarta terdapat 5 titik, yaitu di Kelurahan Nagri Kidul, Nagri Tengah dan Kelurahan Sindangkasih Kecamatan Purwakarta, Desa Cadassari Kecamatan Tegalwaru dan Desa Pasawahan Kecamatan Pasawahan. Teknologi TPS3R adalah sistem pengolahan sampah dengan inovasi teknologi mesin pencacah sampah dan pengayak kompos yang lebih efektif dan efesien. Hasil pengolahan sampah organik berupa kompos digunakan untuk pupuk tanaman hias dan herbal. Kedepan, diharapkan dapat menghasilkan prodak yang berdayaguna lebih dan bernilai ekonomis.
Berdasarkan studi di beberapa Desa di Kabupaten Purwakarta yaitu Desa Cadassari dan Desa Gandasoli, pengelolaan sampah di desa, secara umum dikelompokkan pada sampah yang memiliki nilai jual untuk diolah kembali, adapun jenis sampah tersebut adalah terdiri dari empat jenis, yakni Karet, kertas, plastik, logam, dan metal. Secara umum yang dilakukan di Kabupaten Purwakarta dan Wonosobo Skema pengelolaan sampah berdasarkan studi di Desa Kalimendong dan Desa Sembungan Kabupaten Wonosobo pada dasarnya memiliki kesamaan dengan adanya Lembaga Pengelola Sampah yaitu Bank sampah.
Bank Sampah memiliki layanan Tabungan Sampah yang merupakan salah satu strategi dan solusi untuk membangun kepedulian sehingga mendapat manfaat ekonomi langsung dari sampah. Tabungan Sampah ini akan sangat penting dalam pengelolaan sampah di lingkungan desa yang akan memiliki manfaat ekonomi langsung terhadap masyarakat, sehingga dapat menciptakan budaya lingkungan bersih, dan lebih menghargai nilai yang terdapat pada sampah layak jual.
Keberadaan Bank Sampah dilokasi studi baik di Kabupaten Wonosobo dan Purwakarta menjadi cikal bakal dan penanda proses pengembangan selanjutanya dalam tata kelola sampah di desa.
Praktek baik Penanganan dan pengelolaan sampah di Desa Cadassari Kecamatan Kebon Waru Kabupaten Purwakarta dilakukan dalam proses yang cukup panjang, dan dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dimulai tahun 2016, dan mulai nampak geliat dukungan masyarakat secara masif setelah tahun 2018 serta mendapat dukungan dari Pemerintah Desa Cadassari. Perubahan perilaku masyarakat Desa Cadassari terbentuk karena adanya peningkatan kesadaran masyarakat dalam melihat sampah dan mengelola sampah, awalnya sampah dipandang tidak bermanfaat sehingga dibuang atau dibakar. Inisiator pengelolaan sampah adalah Bu Maya yang berhasil mengembangkan Bank Sampah dan mengelola sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Adanya nilai manfaat ekonomis ini yang menyebabkan kesadaran masyarakat terhadap sampah, dan Bu Maya adalag sosok champion lokal yang mampu mendorong perubahan perilaku di masyarakat Desa Cadassari melalui kelompok PKK, Pengajian Perempuan, kelompok tani dan remaja di Desa. Saat ini Bu Maya menjadi Ketua Bank Sampah di Desa Cadassari.
Masyarakat Desa Cadassari mulai merasakan manfaat sampah sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya bahkan menjadi bagian penopang ekonomi keluarga. Setelah merasakan nilai ekonomi yang diperoleh dari melakukan pemilahan sampah dan terlibat dalam kelompok pengrajin pengelola sampah menjadi produk berbilai ekonomis seperti Kursi dari drum bekas dan Ban kendaraan, Tikar dari bungkus permen, Penutup Buku, Tas. Dompet berbahan anyaman pembungkus permen, Taplak meja, Tatakan gelas, keranjang berhan kertas bekas serta berbagai produk kerajinan lainnya.
Untuk sampah rumah tangga setiap rumah tangga disediakan tong Biokomposter sehingga menghasilkan pupuk cair “Mikro Organik Lokal” (MOL), sedangkan sampah padatnya dijadikan kompos. MOL dan kompos dijadikan sebagai pupuk untuk lahan tanaman pekarangan, kebun dan sawah. Sedangkan Pupuk Cair sebagian dikemas dan dijual melalui gerai dan BUMDes Desa Cadassari.
Untuk mendukung ekosistem usaha dari pengelolaann sampah dibangun Gerai Kerajinan sedangkan promosi dan penjualan hasil produk kelompok dilakukan oleh Badan Usaha Milik Desa Cadassari. Kerjasama Bank Sampah Dunia Maya, BUMDes dan Gerai Produk Kelompok dilakukan
Dukungan CSR dalam pengelolaan Sampah di desa
Dukungan CSR dalam kegiatan pengelolaan sampah di desa bada umumnya terkait pembiayaan dan peningkatan kapasitas.
Dalam implementasi pengelolaan sampah di desa cadassari dan Desa Gandasoli dibantu CRS PLTA Jatiluhur. Demikian pula di Desa Kalimendonga dan Desa Sembungan Kabupaten Wonosobo, terdapat dukungan CSR dalam mendorong pengelolaan sampah. Desa Sembungan mendapat dukungan dari Bank Indonesia dan PT Geo Dipa Energi. Perusahaan CSR yang mendukung kegiatan pengelolaan sampah di desa studi bukanlah CSR dari perusaan atau produsen yang memproduksi kemasan sampah yang ada di desa, tetapi Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang ada disekitar wilayah Desa. Jika merujuk pada UU Nomor 18 tahun 2000 tentang Pengelolaan Sampah, pada pasal 15 disebutkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Mandat UU tersebut dalam mendukung pengelolaan sampah di desa seyogyanya dapat didorong melalui peran Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa untuk berkolaborasikan dalam pengelolaan dan penanganan sampah yang ada di desa, sehingga keberlanjutan penanganan sampah dalam mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa dapat terus berkembang.
Kreativitas dan inovasi Desa dalam pengelolaan Sampah
Pada dasarnya baik desa-desa studi pengelolaan sampah yang ada di Kabupaten Purwakarta dan Wonosobo, memiliki kesamaan dalam hal berada dilingkungan daerah wisata, Desa Cadassari dan Desa Gandasoli dekat dengan destinasi wisata waduk jatiluhur sedangkan Desa Sembungan merupakan Desa tertinggi di pulau jawa yang merupakan aglomerasi pemukiman pedesaan yang sangat menarik sebagai destinasi wisata termasuk Desa Kalimendong yang merupakan desa dataran tinggi sebagaimana umumnya kabupaten Wonosobo.
Perbedaan pelibatan kelembagaan yang menjadi inisiator pengelolaan sampah di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Wonosobo yaitu di kabupaten Purwakarta didukung oleh para penggiat Posyantek yaitu lembaga kemasyarakatan desa yang bergerak dalam pemanfaatan teknologi tepat guna, sedangkan di kabupaten Wonosobo di dukung oleh para penggiat wisata yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata atau Pokdarwis.
Kelembagaan pengelolaan sampah di kabupaten Purwakarta dan wonosobo pada umumnya sama yaitu dengan pembentukan Bank sampah, unit pengelola sampah, Gerai dan Workshop produk olahan limbah dan BUMDesa.
Perubahan paradigma atau cara pandang masyarakat terhadap sampah yaitu masyarakat mulai memilah sampah jenis apa yang dibisa dibuang, mana yang bisa diolah. Mengubah sampah menjadi produk bernilai ekonomi ( keranjang, tikar, mebeler, pot tanaman, dll) melakukan daur ulang minyak Jelantah sebagai sumber energi bio diesel, mengolah limbah rumah tangga menjadi pupuk cair mikroorganik lokal (MOL), dll.
Beberapa permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah di desa studi pada umumnya meliputi :
1. Partisipasi dan kesadaran masyarakat desa terhadap sampah masih belum optimal
2. Lemahya dukungan regulasi dalam memfaslitasi berbagai potensi masalah dalam pengelolaan sampah seperti adanya persaingan dengan pengepul/pemulung di desa dalam pengelolaan sampah
3. Belum optimalnya peran kelembagaan di Desa dalam pengelolaan sampah terutama terintegrasinya peran-peran kelembagaan dalam penanganan dan pengelolaan sampah ( seperti Posyanatek, BUMDesa/BUMDesa bersama, Bank Sampah, serta lembaga lainnya)
4. Produk hasil pengolahan belum memiliki daya saing pasar dari aspek harga
5. Rendahnya dukungan Pengelolaan sampah secara terintegrasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/Kota dalam mendorong keberlanjutan pengelolaan sampah untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi masyarakat yang ramah dengan lingkungan
6. Peran CSR bagi produsen yang memproduksi kemasan, belum optimal dilakukan kolaborasi dalam menjalankan penangnan dan pengelolaan sampah di desa
7. Kurangnya dukungan sumber daya manusia yang menguasai teknologi digital utnuk memperkuat pemasaran prosduk olahan limbah
8.Masih lemahnya perencanaan pembangunan terhadap upaya penanganan dan pengelolaan sampah.
Kesimpulan
Model pengelolaan sampah di Desa dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan berbasis masyarakat harus didukung sepenuhnya dalam sistem tata kelola Desa yang melibatkan Lembaga Pemerintahan Desa, BPD, Lembaga Kemasyatarakatan Desa serta Lembaga Desa lainnya ( Pokdarwis, BUMDes/BUMDesa bersama). Untuk efisiensi dan efektivitas Pengelolaan dan penanganan sampah dapat diakselerasi melalui kerjasama antar desa serta pihak ketiga dengan berbasis kawasan perdesaan dengan membentuk kelembagaan antar desa seperti Bank Sampah Antar Desa, BUMDesa bersama, Unit pengelola sampah desa bersama, yang didorong melalui fasilitasi Posyantek ditingkat Kecamatan.
Dalam rangka mendorong kreativitas dan inovasi serta promosi untuk peningkatan daya saing produk olahan limbah dibutuhkan dukungan Sistem Informasi Desa, penguatan kelembagaan pengelola sampah Bakn Sampah, BUMDesa/BUMDesa bersama, Posyantek serta Pokdarwis dan perlunya dukungan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengintegrasikan pembinaan dan dukungan lainnya.
Berdasarkan catatan atas studi yang dilakukan desa-desa di kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Wonosobo, maka terdapat dua rekomendasi untuk ranah desa dan Kabupaten yaitu sebagai berikut
Rekomendasi Desa
1. Mendorong partisipasi masyarakat untu terlibat aktif dalam pengelolaan sampah dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat yang masih kurang dalam mengatasi maupun mengelola sampah. Hal ini merupakan kunci keberhasilan dari kegiatan pengelolaan sampah, sehingga harapannya dapat langsung dilakukan dan selesai pada tingkat rumah tangga.
2. Mendorong peran kelembagaan desa untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sampah serta edukasi terhadap masyarakat desa secara berkelanjutan dalam pengurangan volume timbulan sampah di desa-desa (reduce), optimalisasi pemanfaatan kembali barang-barang sisa yang masih dapat digunakan (reuse) dan pemrosesan bahan yang dapat diubah menjadi barang baru yang dapat dilakukan setiap warga di sumber timbulannya (recycle).
3. Perlunya penguatan kelembagaan pengelola dan ekosistem kelompok/ kelembagaan masyarakat dan Desa untuk pengelolaan sampah berkelanjutan, terutama pengembangan kelembagaan Posyantek yang dapat menjembatan solusi berbagai penanganan sampah untuk dikelola lebih lanjut dengan lembaga pengelola sampah seperti Bank Sampah, serta LKD/LAD lainnya agar tercipta Integrasi pengelolaan sampah di desa antara Bank sampah, BUMDes/BUMDesma, Posyantek, dan kelembagaan pengelolaan sampah di desa.
4. Penanganan sampah rumah tangga dan/atau sampah sejenis sampah rumah tangga oleh unit jasa pengelolaan sampah di desa melalui peran-peran kelembagaan di desa.
5. Fasilitasi penguatan perencanaan dan anggaran dalam upaya investasi pembangunan dan pengembangan sistem pengelolaan sampah oleh Pemerintahan Desa dan Pemerintah Daerah serta pihak ketiga (Menyusun renstra pengelolaan sampah di Desa sebagai bahan kebijakan perencanaan pembangunan desa)
6. Memperkuat Sistem Informasi Desa serta dukungan pengautan teknologi tepat guna yang mendukung penanganan dan pengelolaan sampah di desa.
7. Perlu Dukungan regulasi ditingkat Desa terkait produk yang dihasilkan oleh desa terkait dengan pengelolaan sampah, kelembagaan pengelolaan, Kerjasama dan keterpaduan kelembagaan
Rekomendasi Kementerian
1. Perlu kajian mendalam tentang rantai nilai produk ( pasok dan pasar serta manajemen produksi) hasil pengolahan sampah yang berdampak ditinjau dari sisi harga tidak kompetetif dengan produk sejenis dengan bahan baku non limbah, hal tersebut diakibatkan biaya produksi dan manajemen pengelolaan produk hasil olahan kelompok, hal tersebut berguna dalam mendorong keberlanjutan produksi dan pasar dapat dilakukan secara kontinu.
2. Adanya dukungan program / kegiatan untuk mendukung desa dalam pengelolaan sampah dalam rangka pencapaian tujuan SDGs desa.
3. Fasilitasi mendorong pihak terkait dukungan peningkatan Promosi dan Pemasaran dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dunia usaha terutama CSR yang terkait langsung dengan sampah kemasan perusahaan yang diolah oleh masyarakat ( termasuk jaringan marketplace )
4. Mendorong peran Posyantek dan Ruang Komunitas dalam mendorong dan mencipta teknologi tepat guna (TTG) dan pemanfaatannya serta teknologi informasi dan komunikasi
5. Mendorong dukungan peran Pemerintah kabupaten/kota dalam mendorong pembinaan dan dukungan peningkatan kualitas produk-produk berbasis olahan limbah/sampah untuk memberikan perlindungan terhadap kualitas, hak cipta, promosi dan pengembangan pasar /akses pasar serta insentif berupa pembinaan rutin dan lainnya.
6. Dukungan apresiasi desa serta kampanye Informasi terkait praktik baik dan model pengelolaan sampah di desa.
Tidak ada komentar