Oleh: Amanah Upara, S.IP, M.IP, Dosen Ilmu Politik UMMU. KoranMalut.Co.Id - Menurut Crouch (1978); Salim Said (1992) dan Sundhaussen (1982),...
Oleh: Amanah Upara, S.IP, M.IP, Dosen Ilmu Politik UMMU.
KoranMalut.Co.Id - Menurut Crouch (1978); Salim Said (1992) dan Sundhaussen (1982), jauh sebelum pemerintahan Orde Baru, pengaruh politik militer di dalam proses-proses politik sebenarnya sudah terjadi. Hal ini tidak lepas dari ekisistensi militer di Indonesia yang dipandang berbeda dengan militer di negara-negara barat. Misalnya, perbedaan eksistensial itu terlihat dari munculnya konsep „jalan tengah‟, yang dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution. “Dalam pandangan ini, militer tidak bisa hanya ditempatkan sebagai penjaga keamanan, melainkan harus dilibatkan di dalam pengelolaan negara. Tetapi, militer juga tidak bisa dipake sebagai alat oleh pengusa militer.” Secara kelembagaan, pengaruh militer mengalami kekuatan ketika Indonesia memasuki fase otoritarianisme. Tepatnya ketika pada 1957 Presiden Soekarno (Orde Lama) membentuk „Dewan Nasional‟, yang di dalam realitasnya telah mengambil alih fungsi parlemen. Militer merupakan bagian penting di dalam dewan ini. Pada tahun yang sama pemerintah Soekarno mengeluarkan UU Darurat Perang yang memberi ruang yang lebih besar kepada
militer untuk mengatasi permaslahan negara, khususnya yang berkaitan dengan geraka-gerakan di daerah yang menentang pemerintah pusat seperti DI/TII dan PRRI/Permesta. Posisi militer semakin kuat ketika terjadi Gerakan 30 September PKI 1965. Sebelum peristiwa keji ini terjadi, selain Presiden Soekarno, terdapat dua kekuatan yang paling berpengaruh yakni, PKI dan TNI. Kekuatan-kekuatan di luar itu, dilemahkan. Jatuhnya Soekarno dan dibubarkannya PKI menjadi TNI sebagai kekuatan yang secara kelembagaan paling berpengaruh. Kosep „jalan tengah‟ menjadi dasar legitimasi TNI di dalam politik, kemudian dikembangkan menjadi konsep dan doktrin dwifungsi. Pasca Gerakan 30 September PKI 1965, berimplikasi politik terhadap kekuasaan Presiden Soekarno, akhirnya Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto (Orde Baru) sebagai Presiden RI. “Pada masa pemerintahan Soeharto, TNI memiliki posisi dan peran yang strategis di dalam kehidupan politik di Indonesia. TNI merupakan salah satu instrumen utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik”. TNI merupakan kekuatan utama yang mendukung lahirnya pemerintahan Soeharto, doktrin „dwifungsi ABRItelah dijadikan dasar sebagai legitimasi bagi TNI untuk memasuki ranah politik praktis‟. TNI tidak sekedar menjadi kekuatan yang berpengaruh, tetapi merupakan kekuatan yang ikut mengendalikan kekuasaan secara langsung. Para perwira TNI banyak menguasai jabatan-jabatandi dalam pemerintahan. Pada awal-awal 1971, hanya tujuh dari dua puluh enam gubernur yang berasal dari kalangan sipil. Di tingkat kabupaten/kota, lebih dari separuhnya dikuasai oleh anggota TNI (Ward, 1974). Selain itu, baik di pusat maupun di daerah, perwira-perwira TNI juga ditempatkan menjadi anggota DPR dan DPRD bahkan terlibat dalam dunia bisnis. Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada Era Reformasi 21 Mei 1998 memiliki implikasi yang sangat besar terhadap posisi TNI di dalam politik. Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan memunculkan banyak tuntutan dari kelompok-kelompok prodemokrasi seperti mahasiswa, ormas kemasyrakatan, ormas kepumudaan, dll. Yang disebut Alfred Stepan sebagai kelompok sivil society, “agar ABRI melakukakan reformasi besar-besaran di dalam dirinya.
Salah satunya adalah TNI dituntut kembali ke barak, sebagai kelompok profesional yang mengajarkan masalah-masalah pertahanan”. Tuntutan dari kelompok-kelompok prodemokrasi ada benarnya, karena bangunan negara demokrasi memang mensyaratkan militer tidak aktif berpolitik dan berada di dalam supremasi sipil (kontorol sipil) atas militer. Hal ini akan Melahirkan tentara (TNI) profesional dalam melaksanakan tugas negara atau politik negara sebagaimana di maksudkan oleh Jenderal besar Sudirman. Menurut Samuel P. Huntington (1996), format utama di dalam tentara profesional adalah adanya kontrol sipil atas militer. Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, menurut Huntington, terdapat dua jenis kontrol sipil atas militer, yakni: Pertama, subjective civilian control, maksudnya bahwa kontrol sipil atas militer diwujudakan melalui pemaksimalan kekuasaan sipil atas militer. Penguatan kekuasaan sipil sendiri dilakuakn melalui kontrol sipil atas lembaga pemerintah, kelas-kelas sosial dan bentuk-bentuk konstitusional. Kedua, objektive civilian control, artinnya kontrol ini dilakukan melalui pemaksimalan profesionalisme di dalam tubuh militer. Cara demikian dilakukan agar tentara merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya. Menurut Huntington, kontrol yang kedu itu bisa dikembangkan dalam membangun relasi sipil-militer di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi.
Sebagai konsekuensi dari tuntutan tersebut, pada akhir Agustus 1998 ABRI merumuskan empat pradigma baru, kemudian diumumkan oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Keempat pradigma baru itu yakni: Pertama, militer akan mengubah posisi dan metode untuk tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat Orde Baru diserahkan kepada institusi fungsi yang lebih kompoten. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi memengaruhi. Artinya posisi militer yang dahulu menguasai posisi strategis, saat ini harus dibatasi. Memengaruhi bukan berarti mengintervensi, tetapi lebih pada kontribusi TNI terhadap pembangunan. Ketiga, mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung.
Hal ini penting dilakukan untuk menghindari keterlibatan TNI yang berlebihan dalam berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat, kesediaan untuk bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya (Harmain, 2004).
Melalu tuntutan reformasi tersebut dwifungsi ABRI dihapus dan TNI-POLRI berpisah, awalnya Polisi dibawah kewenangan TNI. TNI mulai menarik diri dari politik praktis dan kekuasaan politik tidak lagi menarik-menarik TNI-POLRI untuk mengatur politik sipil hal ini sangat terlihat pada pemerintahan Presiden BJ. Habibie, Presiden Gusdur, Presiden Megawati dan Presiden Sosilo Bambang Yudoyono. Namun pada pemerintahan presiden Joko Widodo mulai ditarik kembali TNI-POLRI aktif terutma Polisi menjadi Ketua KPK Irjen Firli Bahuri, Kepala Imigrasi, Kepala BNN, Kepala BNPB dan pejabat kepala daerah seperti Inspektur Jenderal (Irjen) Martuani Sormin sebagai pejabat Gubernur Sumatra Utara dan Irjen Mochmad Iriawan sebagai Pejabat Gubernur Jawabarat, Komjen Setyo Wasisto menjadi Irjen di Kementerian Perindustrian, Birigjen Adi Dariyan menjadi Staf Khusus bidang Kemanan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Irjen Andap Budhi Revianto menjadi Irjen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Irjen Reinhard Silitonga menjadi Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham. Banyaknya aparatur kepolisian aktif yang menduduki jabatan politik sipil menuai kritik dari berbagai kalangan mulai dari dwifungsi Polri hingga ancaman bagi supremasi sipil. Namun, kritik tersebut tidak ampuh, buktinya saat ini Kemandagri Tito Karnavian yang juga mantan Kapolri mengusulkan agar TNI-POLRI aktif menjadi Pejabat Gubernur, Bupati dan Walikota di 271 daerah di Indonesia yang tediri atas pejabat Gubernur 24 orang dan Pejabat Bupati dan Walikota 247 orang yang akan berakhir masa jabatan pada tahun 2022-2023. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irawan mengatakan terkait hal tersebut pemerintah berpatokan pada peraturan penunjukan kepala daerah. Berdasarkan Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah mulai 2022, diangkat pejabat gubernur, bupati dan wali kota. Mereka bertugas hingga terpilih gubernur, bupati dan walikota pada Pemilu 2024. Jika kebijakan ini dilaksanakan oleh pemerintah maka jelas meruntuhkan kewibawaan pemerintahan sipil dan seakan-akan mengembalikan dwifungsi ABRI. Memang UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian tidak melarangnya. Namun alangkah baiknya Mendagri menganolir kebijakan tersebut, TNI-POLRI tidak boleh dipaksakan untuk menjadi Pejabat Kepala Daerah, biarlah TNI menjadi Tentara profesional untuk menjaga keamanan negara dari ancaman musuh dan POLRI menjadi Polisi profesional untuk menjaga dan melindungi ketertiban umum. Masih banyak tugas dan pekerjaan rumah TNI-POLRI yang harus dikerjakan seperti tugas TNI menjaga perbatasan negara di Laut Natuna, Sipadan dan pulau-pulau lain yang masih diklaim oleh negara asing. Begitupula tugas Polisi seperti meredam terorisme, kriminalitas, dan kejahatan kerah putih lainnya serta penegakan hukum sipil yang sangat membutuhkan kerja keras Polisi untuk mengurangi bahkan menghilangkan kejahatan tersebut. Namun jika dipaksakan TNI-POLRI menjadi penjabat kepala daerah maka alangkah baiknya mereka harus mundur dari kesatuannya, karena jika mereka melanggar aturan sebagai pejabat sipil maka harus disidangkan di Pengadilan Negeri bukan di Mahkama Militer atau Polisi. Apabila mereka tidak mundur dari kesatuan, maka otomatis akan disidangkan di Mahkama Militer, hal ini sangat bertentangan dengan UU terutama UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, untuk menduduki 271 pejabat kepala daerah harus ditunjuk para birokrat sipil untuk menduduki jabat tersebut. Kenapa harus ragu dengan pemerintahan sipil? Bukankah ribuan birokrasi sipil baik di pusat dan di daerah yang berkualitas, profesional dan berintegritas yang sukses menata pemerintahan di Indonesia. Jika keinginan untuk menempatkan TNI-POLRI menjadi pejabat kepala daerah untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara pada Pilkada serentak 2024, ini merupakan sebuah alasan yang tidak ada dasarnya, karena ada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang dilibatkan aparat kepolisian untuk penenganan pelanggaran tindak pidana pemilihan. Buktinya semenjak Pemilihan langsung tahun 1999 sampai saat ini negara dalam keadaan aman dan damai tidak ada ancaman yang berarti. Jika ada demonstarsi atau tuntutan masyarakat terkait dengan ketidak puasan mereka dengan Pemilukada merupakan hal biasa dalam demokrasi. Demonstrasi tersebut dapat diselesaikan oleh KPU/KPUD dan Bawaslu. Apabila TNI-POLRI menjadi pejabat kepala daerah, seakan-akan pemerintah ragu dengan peran Bawaslu untuk mengawasi Pemilu. Buat apa ragu dengan Bawaslu? Bawaslu selama ini dinilai publik cukup berhasil dalam mengawasi Pemilu. Apabila kebijakan TNI-POLRI dipaksakan untuk menduduki pejabat kepala daerah maka publik akan menilai bahwa kebijakan tersebut untuk mengamankan kepentingan elit politik yang berkuasa pada Pemilu 2024, supaya mengalami kesuksan yang sama dengan Pilkada 2020. Hal ini akan membuat demokrasi di Indonesia semakin mengalami turbulensi dibawah pemerintahan Joko Widodo. Sangat disayangkan turbulensi tersebut malah disumbangkan oleh Kemendagri yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi sebagai wakil pemerintah. Menurut Salim Said (2002), TNI bisa saja akan tetap memiliki pengaruh politik di dalam kebijakan-kebijakan penting. Ketika terjadi krisis politik, ketika konsep NKRI dianggap dalam bahaya dan apabila sipil lemah, maka TNI akan mengambil posisi politiknya. Namun dalam konteks saat ini terbalik bukan karena krisis politik, bukan NKRI dalam bahaya dan bukan sipil lemah tetapi karena TNI-POLRI yang ditarik-tarik atau dipengaruhi oleh kekuasaan akhirnya terlibat dalam politik praktis.**(red).
Tidak ada komentar