JAKARTA, KoranMalut.Co.Id - Sebagaimana lazimnya musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, selalu ada ekses yang menyisa bahkan...
JAKARTA, KoranMalut.Co.Id - Sebagaimana lazimnya musim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, selalu ada ekses yang menyisa bahkan ketika kepala daerah ditetapkan dan dilantik.
Graal Taliawo, lulusan magister Sosiologi UI yang kini tengah mengambil studi doktoral politik di universitas yang sama, berpandangan bahwa fanatisme yang kadang membabi buta masih meninggalkan jejak polarisasi, daya kritis masyarakat perlahan terkikis, hingga keengganan masyarakat untuk menilai secara objektif adalah beberapa contohnya.
Yang pilihan kandidatnya sukses duduk di kursi kekuasaan, sibuk membuat sanjungan dan terdepan menjadi pemuja ulung. Yang pilihan kandidatnya tak terpilih, sibuk menegasikan dengan beragam hoaks, penyangkalan, dan kampanye hitam.
Kita tidak boleh lupa bahwa roda kehidupan terus berjalan, kebijakan harus segera dipikirkan, pun perbedaan identitas dan preferensi politik mestinya tak lagi jadi soal karena sudah jadi satu identitas: warga negara. Tinggalkan label “fans” dan “haters”, kini saatnya semua rapatkan barisan.
Hak sipil dan hak publik setiap warga dikedepankan—tanpa membedakan apakah mereka pendukung atau bukan—harus dipenuhi secara konsisten tanpa kecuali. Lebih lanjut, semua warga, baik yang memilih maupun tidak memilih, cukup memandang mereka yang terpilih sebagai pejabat publik. Tidak lagi melihatnya sebagai kandidat atau idola.
“Pun, warga tidak lagi berperan sebagai loyalis atau partisan yang menjadi barisan terdepan untuk sang pejabat publik meskipun tindak-tanduk dan kebijakannya dinilai tidak tepat. Warga tidak pula menjadi barisan sakit hati yang kemudian menutup diri atas tindak-tanduk dan kebijakan sang pejabat publik yang padahal dinilai tepat,” ujar Graal Taliawo, yang juga merupakan pemuda Halmahera yang aktif mengamati isu politik di wilayah itu, Kamis (25/3/2021).
Menurutnya, satu-satunya posisi yang harus diambil oleh warga ataupun pejabat publik adalah menjaga jarak. Warga menjaga jarak dengan kekuasaan agar bisa terus mengkritisi kekuasaan. Dengan menjaga jarak, warga diharapkan mampu menilai masalah dan kebijakan secara lebih objektif dan komprehensif. Walhasil, nantinya warga mampu mengambil sikap yang tepat dalam merespons kebijakan yang dirumuskan oleh pejabat terpilih.
“Berikutnya, sikap kritis warga dibutuhkan agar kekuasaan yang dijalankan dan pemerintahan yang diselenggarakan tetap berada dalam koridor dan tidak menyimpang. Kekuasaan politik dalam naturnya tidak bebas kepentingan, bahkan cenderung korup, menindas, dan menyimpang. Karena itu, sikap kritis dari semua warga menjadi penting untuk menjaga bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan,” tambahnya.
Dalam konteks sebagai negara demokrasi, keberadaan oposisi sebagai anjing penjaga jadi hal yang niscaya. Ini juga penting demi menjaga pemerintah agar tak menjadi rezim yang otoriter dan absolut.
Sementara, bagi pejabat yang terpilih, mereka harus menyadari, terpilih secara demokratis bukanlah sebuah hadiah atau hiburan, sehingga disambut dengan foya-foya. Jabatan publik adalah tugas berat dan penuh tantangan amanah rakyat ada di pundak. Pejabat publik berarti menjadi pelayan rakyat, bukan tuan yang serba diprioritaskan dan bisa memanfaatkan banyak privilese untuk tujuan pribadi atau kelompok.
“Oleh sebab itu, sambutlah pelantikan dengan komitmen kerja keras dan semangat antikorupsi. Sebab, hanya dengan itulah, tugas-tugas berat akan bisa dihadapi. Mari rayakan pelantikan dengan berharap dukungan warga dan kekuatan dari-Nya. Jangan menyambut jabatan publik dengan hura-hura, apalagi sambil berleha-leha,” pungkas Graal," tutupnya.**(Red).
Tidak ada komentar