Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Sudut Lain Daftar pemilih dan Partisipasi Pemilih

Oleh :  Ahmad Abd Kadir Pegiat Serikat Pemuda Kerakyatan HalTim KoranMalut.Co.Id - Sejak dijalankannya pemilu dimana demokrasi melegi...


Oleh :  Ahmad Abd Kadir Pegiat Serikat Pemuda Kerakyatan HalTim

KoranMalut.Co.Id - Sejak dijalankannya pemilu dimana demokrasi melegitimasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat maka basis dasar terkait pemilu adalah masyarakat itu sendiri, atau dengan kata lain One man one vote ( satu orang satu suara) hal ini di buktikan dengan lahirnya undang undang pemilihan umum tahun 2017 yang mengatur pemilahan umum di indonesia. secara resmi, undang undang ini dikenal sebagai undang-undang NO 7 tahun 2017 (atau UU NO 7/2017) yang disahkan pada tanggal 27 juli 2017 setelah mengalami perdebatan panjang ( kurang lebih sembilan bulan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, pemiliham umum yang juga merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih presiden/wakil presiden, DPR, DPD, Bupati/wakil Bupati atau walikota/wakil walikota.dasar pijak (basis pemilih) adalah mereka yang telah genap berusia 17 tahun atau belum namun sudah menikah sebagaimana diatur dalam UU Pemilu atau peraturan lain dibawahnya. maka daftar pemilih tetap (DPT) haruslah menjadi focus setiap penyelenggara pemilu baik KPU maupun BAWASLU agar hak - hak konstitusional masyarakat tidak dikebiri. karena hanya dengan begitu setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat menyalurkan hak pilihnya.

Jika ditinjau dari aspek regulasi terkai kepemiluan, penyusunan daftar pemilih akan melalui beberapa fase sebelum ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap. olehnya itu setiap fase tersebut dituntut agar partisipasi aktif setiap element termasuk didalamnya pemerintah melalui instansi terkait kependudukan, partai politik sebagai peserta pemilu dan masyarakat (person) agar aktif mengoreksi setiap fase tersebut. sehingga daftar pilih yang nantinya ditetapkan oleh KPU menjadi kredibil dan akurat.
sementara itu biila angka statistik dan demokrasi prosedural dijadikan ukuran partisipasi, maka di era otoriterianisme Orde Baru, persentase partisipasi warga dalam pemilu selalu tinggi di atas 90 persen. Namun partisipasi yang tinggi ini justru bukan indikator kualitas demokrasi, karena negara telah merekayasa sistem pemilu dan mengekang hak-hak politik warga melalui kebijakan 5 Paket UU Politik dan intervensi aparatus negara.

Dalam sejarah kepemiluan di Indonesia, salah satu faktor yang dianggap dapat menurunkan partisipasi pemilih dalam pemilu karena “golput” atau “golongan putih.” Golput sering diidentikan bagi masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan politik. Namun tidak ada data hasil penelitian atau riset yang menunjukkan jumlah angka golput ini. Golput sebagai suatu sikap politik untuk menuntut perbaikan sistem politik agar lebih demokratis, akuntabel dan partisipatoris, adalah lebih sebagai seruan moral. Karena itu, golput dapat dianggap sebagai pengingat bagi pemerintah dan partai politik bahwa politik representatif haruslah sejalan dan memperkuat kelembagaan demokrasi, bukan sebaliknya memperkuat ancaman bagi demokrasi.

Tidak memilih adalah sebuah hak, sikap politik yang dijamin di negara-negara demokratis. Realitas golput perlu dilihat oleh peserta pemilu, baik partai politik, caleg, calon perseorangan, termasuk capres dan cawapres sebagai keniscayaan yang melekat dalam iklim demokrasi. Realitas ini hendaknya makin memberikan tantangan bagi para kontestan untuk lebih mendengar aspirasi dan kemungkinan merumuskannya sebagai alternatif program dan kebijakan untuk ditawarkan. Karena itu tidak perlu secara berlebihan golput disikapi sebagai sebuah ancaman. Namun golput yang konstruktif harusnya mampu melihat mana kekuatan yang menjadi ancaman bagi demokrasi ke depan dan harus dihadapi sebagai “musuh bersama” untuk mencegah kembalinya sistem otoriter yang anti demorkasi.

Kata kuncinya adalah golput menurut penulis justru merupakan sebuah kemerdekaan individu sebab memilih yang tidak harus dipilih dan memilih yang pasangaan A dan pasangan B yang keduanya sama sama tidak layak menjadi pemimpin juga adalah kesalahan. sampai disini semoga saja sebagian pihak yang menilai sikap integritas dapat membuka nalarnya agar tidak sempit mendefinisikan kata tersebut (Basedu hehe)
Lalu apakah yang menjadi sisi lain daftar pemilih dan partisipasi pemilih ??
Daftar pemilih yang ditetapkan KPU biasanya akan selalu disalah gunakan oleh elite politik demi kepentingan pemenangan politik. tidak bisa dipungkiri, masifnya penyalagunaan daftar pemilih dari pemilu ke pemilu masih saja terjadi. hal ini biasanya dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu tingkat bawah yakni Kelompok penyelenggara pemumutan suara ( KPPS).

Istilah lain dalam hal penyalahgunaan ini adalah bagi bagi sisa surat suara yang tidak digunakan. atau kadang kala dijadikan bahan transaksional (ada uang ada surat suara). sementara partisipasi pemilih harusnya tidak dihitung berdasarkan angka angka semata (presentase) karena terlalu banyak varibel penyalagunaan dan kecurang di ruang TPS. yang apabila itu diakumulasi hanya akan menurunkan indeks demokrasi.
upaya meningkatkat partisipasi pemilih yang biasanya dilakukan KPU melalui berbagai metode dan satu diantaranya melakukan sosialisasi aktif terkait pentingnya menggunakan hak pilih demi perbaikan hajat hidup masyarakat pada umumnya berjalan efektif hingga saat ini. namun pada prinsipnya partipasi harusnya sejalan dengan penentuan kebijakan lima tahunan dimana masyarakat wajib diikut sertakan dalam prospek pembuatan kebijakan secara aktif. pada akhirnya, tingginya angka partisipasi pemilih dalam pilkada halmahera timur tidak seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat (Lihat Data BPS). pembangunan infrastruktur yang jauh dari nilai-nilai identitas, dengan dalih pembangunan pulau kecil di halmahera terpaksa di gadaikan, atas dalih itu pula petani terpaksa kehilangan tanah ( kebun dikonsesi menjadi areal pertambangan). mirisss!!!

Closing statement,Segala bentuk kecurangan dalam pemilu haruslah diantisipasi berdasarkan regulasi, BAWASLU jangan sampai masuk angin. elite politik juga harus berani mengatakan tidak pada praktik politik uang (rakyat jangan dipaksa terima uang elite politik jangan maksa ngasih uang). KPU jangan mau jadi babu. jika masih begini tata cara kita bereuforia menjemput pilkada Halmahera Timur 2020 maka sudah pasti rakyatlah satu satunya korban. juga jangan hakimi kami jika kami memilih GOLPUT.**(red)