TERNATE, Koranmalut.Co.Id - Umar Bopeng mengklaim tanah dan bangunan seluas 412 meter persegi di jalan Hasan Esa, Takoma Ternate, Maluku ...
Kronologi hingga tanah itu milik Sutjipto berawal dari tanggal 10 September 1973. Kala itu Muhammad Bopeng, ayah Umar Bopeng memberikan (kekaksih hidup) kepada Idrus Bopeng. Idrus adalah kakak Umar Bopeng. Pemberian (hibah) dibuat tetulis diatas kertas segel meterai Rp 25.
Surat Surat hibah yang ditanda tangani Muhammad Bopeng dan Idrus Bopeng, ikut dibubuhkan tanda tangan Muna Quiliem dan Halek Bopeng sebagai saksi itu menerangkan, bahwa Muhammad Bopeng menghibah sebidang tanah yang terletak diatasnya sebuah rumah semi parmanen di kampung Takoma (kini kelurahan Takoma), jalan Hasan Esa Ternate kepada Idrus Bopeng untuk dimiliki sekaligus mengurus sertifikat hak milik dan izin bangunan atas nama Idrus Bopeng.
Idrus kemudian mengurus hak kepemilikan tanah dan terbitnya gambar situasi Nomor 7/SPT/B.II/1980 dan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Maluku Nomor 288/HM/80 tanggal 9 Juli 1980. Dalam situasi gambar itu tercantum, tanah seluas 412 meter persegi itu berbatasan dengan sebelah utara hak milik 520, sebelah timur A. Ch. Umbo, sebelah selatan Ratna Haji dan sebelah barat jalan Hasan Esa.
Setelah menjadi hak milik penuh, Idrus Bopeng kemudian menjual kepada Sutjipto pada tanggal 16 Februari 1982. Dalam surat perjanjian jual beli yang ditanda tangani pihak pertama Idrus Bopeng dan pihak kedua Sutjipto Sibit dengan saksi Nico Demus Takome dan Tommy Pangkey serta mengetahui Kepala Kampung Takoma, Ir. M. Melmanbessy itu seharga Rp. 12.500.000. Harga itu sudah termasuk biaya pengurusan sertifikat balik nama sesuai gambar situasi.
Sesuai kesepakatan yang tertuang dalam surat perjanjian jual beli, tanah tersebut dibayar secara angsuran sebanyak tiga kali. Angsuran pertama sebesar Rp 500 ribu digunakan biaya ganti rugi dan lain-lain biaya pengurusan sertifikat balik nama. Angsuran kedua sebesar Rp 6 juta setelah sertifikat hak milik selesai diurus pihak pertama dan angsuran ketiga sebesar Rp 6 juta dibayar pada Juni 1982.
Pembayaran ini dituangkan dalam akte jual beli yang dibuat dihadapan pejabat PPAT yang juga Camat Kotapraja Ternate, Ibrahim Efendi dan ditanda tangani kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Kemudian terbitlah sertifikat Hak Milik Nomor 4 tanggal 29 Mei 1982 atas nama Sutjipto Sibit.
Setelah mengantongi sertifikat, bangunan semi parmanen yang berada diatas lahan itu dibongkar dan dibangun baru. Pembangunan itu berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor 139/18/1984 tanggal 1 Maret 1984 yang ditanda tangani Kepala Seksi Pembangunan/Tata Kota Drs Fachruddin Fabanyo atas persetujuan Walikota Ternate, Drs Thaib Armaiyn.
Pada tahun 2000, Umar Bopeng menguasai tanah dan bangunan milik Sutjipto yang saat itu sementara kosong dan mengklaim bahwa tanah dan rumah itu adalah warisan dari orang tuana, Muhammad Bopeng. Karena itu, Rabu, 2 Februari 2005, jam 12:00 WIT, Sutjipto melaporkan kasus penyerobotan rumah sebagaimana diatur dalam pasal 385 yang dilakukan Aisun Bopeng berdasarkan laporan Polisi No. Pol : I/2015/Res Ternate tanggal 2 Februari 2005.
Polisi tak memproses laporan Suthipto terkait penyerobotan rumah. Nanti pada 5 Desember 2014 Sutjipto mendapat surat pemberitahuan perkembangan hasil penyilidikan laporan pengaduan (SP2HP) nomor B/172/XII/2014/Reskrim yang menyebutkan bahwa rujukan laporan pengaduan ke Polres Ternate tanggal 8 Oktober 2014 tentang penyerobotan rumah tidak dilanjutkan.
Persoalan hingga laporan ini tidak jalan karena Umar Bopeng mangkir dari panggilan polisi. Alasannya. Umar masih berada di kabupaten Halmahera Timur. Polres lantas menghubungi keluarganya dan memberitahukan, apabila Umar Bopeng sudah berada di Ternate, maka polisi akan mengundng untuk dilakukan mediasi dengan pelapor dalam hal ini Sutjipto.
Ternyata Umar Bopeng dan Aisun Bopeng menempuh jalur hukum lain. Mereka menggugat ke Pengadilan Negeri Ternate dengan tergugat I, Idrus Bopeng, Tergugat II Gubernur Maluku dan tergugat III, Sutjipto Sibit. Pada sidang pertama, perkara ini dimenangkan tergugat III Sutjipto Sibit.
Dinyatakan kalah, Umar dan Aisun banding ke Pengadilan Tinggi Maluku Utara. Dalam persidang di Pengadilan Tinggi, Umat menang. Meski dinyatakan menang, Umar lanjut kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan kasasi, Umar Bopeng dinyatakan menang berdasarkan putusan nomor 3812/K/Pdt/1989. Merasa menang tingkat kasasi, Umar menduduki tanah dan rumah itu sambil menunggu eksekusi. Namun harapan Umar tak kunjung jalan, karena secara hukum tanah tersebut secah sah masih milik Soetjipto berdasarkan sertifikat nonor 4, juga belum inkrah atau putusan hukum yang mengikat.
Sutjipto dinyatakan kalah di MA karena penasehat hukumnya, Hendra Karianga terlambat mamasukan memori kasasi, sehingga MA mengabaikan dan memutuskan memenangkan Umar Bopeng dengan acuan putusan banding Pengadilan Tinggi Maluku Utara.
Anehnya, salinan putusan MA tidak diberikan kepada Sutjipto sebagai tergugat. Sutjipto mengaku ada keanehan dalam putusan kasasi ini, sebab dalam perkara itu, tidak disebutkan bangunan baru rumah yang didirikan. Padahal bangunan lama atau rumah lama setelah dibeli langsung dibongkar dan dibangun baru sesuai IMB. “Ini menandakan perkara ini belum inkrah karena saya tidak menerima berita acara,” kata Sutjipto.
Menunggu perintah eksekusi tak kunjung dilaksanakan kata Sutjipto, Umar lantas meminta pendapat ketua Pengadilan, Abas Said. Ketua Pengadilan menyarankan supaya dilakukan mediasi karena berita acara tidak bisa dilaksanakan. Anehnya, sebagai penggugat, Umar meminta mediasi ganti rugi senilai Rp 150 juta. Permintaan ini seharusnya dilakukan tergugat. “Ini ada apa,” ujar Sutjipto.
Dengan demikian, kasus tanah beserta bangunan rumah atasnya masih dalam status quo. Sutjipto yang secara sah mengantongi sertifikat hak milik tak tinggal diam. Ia berjuang agar kasus ini didudukan status hukumnya secara proposional agar jelas.
Ada indikasi, eksekusi tak bisa dilaksanakan kemungkinan terganjal dengan status kepemilikan lahan. Dalam kasus ini, Idrus Bopeng menerima pemberian dari ayahnya, Muhammad Bopeng lewat kekasih hidup alias hibah. Perbedaan paling utama antara harta yang diterima lewat warisan dengan harta yang diterima lewat hibah, pemberi hibah yang memberikan tanah itu masih hidup atau sudah meninggal.
Apabila pemilik harta masih hidup dan memberikan kepada anak-anaknya atau orang lain, maka itu disebut hibah bukan warisan. Sedangkan warisan hanya dibagi apabila pemilik harta sudah wafat. Sebaliknya, apabila pemilik harta sejak masih hidup berpesan bahwa jika meninggal, hartanya diberikan kepada si A atau si B, maka itu namanya bukan hibah dan bukan warisan, tetapi wasiat. Jadi wasiat berbeda dengan hibah dalam penentuan perpindahan kepemilikan.
Dalam hibah, ketika pemilik harta memberikan kepada seseorang, maka saat itu juga terjadi perpindahan kepemilikan harta. Karena itu, ketika Muhammad Bopeng memberikan sebidang tanah kepada Idrus Bopeng, maka sejak surat keterangan kekasih hidup ditanda tangani, lahan itu telah menjadi hak milik Idrus Bopeng. Dengan demikian, Idrus dengan sesuka hati menggunakan apakah memakai, menyewakan atau menjual tanah tersebut sepenuhnya menjadi hak penerima hibah.
Perbedaan lainnya, dalam hibah tidak ada aturan pembagian. Tidak ada ketetapan siapa dapat berapa. Sebaliknya, dalam aturan warisan menurut Islam, siapa saja yang berhak mendapat bagian sudah ditetapkan berdasarkan hukum Islam, bukan berdasarkan kesepakatan atau musyawarah. Besarnya masing-masing bagian termasuk dalam ‘paket kiriman langit’, sehingga tidak ada kompromi dalam urusan hitung-menghitung.
Dalam kasus ini, Muhammad Bopeng yang memberikan tanah kepada Idrus semasa hidup, maka bukan kategori warisan, tetapi hibah. Jika seseorang telah menghibahkan sesuatu kepada anaknya atau orang lain, maka detik itu juga hak kepemilikannya berpindah, walaupun belum ganti nama.
Mengutip pakar hukum Islam Ahmad Sarwat, Lc, MA menyebut, bahwa harta yang sudah dihibahkan tidak boleh dianggap sebagai harta waris. Sebab harta yang dihibahkan itu sejak awal bukan harta waris dan tidak bisa diubah akadnya begitu saja menjadi harta warisan. Jika semasa hidupnya, orang tua menghibahkan hartanya kepada seseorang, otomatis harta itu menjadi milik orang yang menerimanya.
Artinya, hibah adalah pelepasan hak milik dari pemberi hibah kepada penerima. Apabila pemilik suatu saat meninggal, maka apa yang pernah dihibahkan tidak bisa dibagi oleh ahli waris. Karena harta itu sudah bukan lagi milik pemberi hibah, tetapi sudah menjadi milik orang lain dalam hal ini penerima hibah.
Dengan demikian, Umar Bopeng mengklaim sebagai ahli waris yang memenangkan kasasi MA bertentangan hibah. Sebab tanah tersebut bukan warisan, tetapi hak milik Idrus Bopeng selaku penerima hibah. Tanah itu kemudian dijual kepada Sutjipto. Dengan begitu, kepemilikan lahan telah berpindah tangan dari Idrus Bopeng kepada Sutjipto Sibit berdasarkan sertifikat hak milik Nomor 4 tanggal 29 Mei 1982. Sehingga Sutjipto melaksanakan kewajibannya kepada negara, termasuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Bagaimana? tutupnya **(red)