Grid

GRID_STYLE

Breaking News

latest

Jejak Rais Sahan Marsaoly "Ketua KTNA Maluku Utara"

Rais Sahan Marsaoly (Ketua KTNA Malut & Anggota DPRD Provinsi) Koranmalut.Co.Id - Menjadi konsekuensi seluruh pemangku kepentingan d...

Rais Sahan Marsaoly (Ketua KTNA Malut & Anggota DPRD Provinsi)
Koranmalut.Co.Id - Menjadi konsekuensi seluruh pemangku kepentingan di Maluku Utara untuk mewujudnyatakan jati diri sebagai Provinsi Rempah (Spices Islands). Pengembangan rempah harus komprehensif dari hulu ke hilir, sehingga petani pun merasakan nilai tambah dari produksinya. Rais Sahan Marsaoly, Ketua KTNA Maluku Utara, memberi perhatian besar terhadap pembinaan para petani untuk berbudidaya modern.

Maluku Utara (Malut), sejak dulu kala, dikenal sebagai sentraproduksi utama rempah di Indonesia, terutama untuk komoditas cengkeh dan pala yang merupakan tanaman asli Nusantara.
Selain benteng-benteng tua peninggalan Portugis, Spanyol, dan Belanda, pohon-pohon cengkeh tua adalah saksi hidup dan situs sejarah kejayaan serta hiruk-pikuk perdagangan rempah dunia di bumi Nusantara, khususnya di Malut.
Malut adalah provinsi di kawasan timur Indonesia yang lahir 20 tahun silam setelah ditetapkan sebagai provinsi, lepas dari Provinsi Maluku, pada 10 Oktober 1999.
Kata “Maluku” sendiri berasal dari kata “Moloko” dari bahasa Ternate, yang menunjuk pada gugusan pulau penghasil rempah-rempah. Jadi, perspektif Provinsi Malut adalah provinsi rempah-rempah.

Ketua Komisi II DPRD Provinsi Malut, Rais Sahan Marsaoly, mengatakan, predikat yang disandang sebagai provinsi rempah menunjukkan jati diri Malut sebagai daerah pusat penghasil rempah-rempah, sekaligus sebagai daerah asal tumbuhnya tanaman rempah cengkeh dan pala.
Kendati demikian, ada tantangan tersendiri bagi Malut dalam pembudidayaan rempah cengkeh dan pala dalam upaya mengembalikan kejayaan rempah di Malut pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

“Di masa lalu, Malut dicatat sejarah sebagai simbol kejayaan rempah cengkeh dan pala di Nusantara. Di era kekinian, ada kewajiban bagi kami untuk mengembalikan kejayaan rempah Moloku Kie Raha tersebut,” ungkap Rais Sahan Marsaoly, yang juga Ketua KTNA (Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan) Provinsi Malut, sebagaimana dituturkan kepada Majalah TRIAS. info, Redaksi Koranamlut.Co.Id.

Dalam hemat politikus Partai NasDem ini, tantangan tersebut mesti dijawab dengan langkah strategis dan komprehensif. Semua stakeholder di Provinsi Malut harus fokus dalam mempertahankan cengkeh dan pala sebagai komoditas spesifik wilayah serta menjadikan komoditas rempah andalan nasional.

Fokus perhatian itu dituangkan melalui program pengembangan komoditas tanaman rempah cengkeh dan pala serta komoditas penyegar lainnya.
Revitalisasi Perkebunan Rempah
Satu hal yang menjadi titik penekanan Rais dalam konteks pengembangan komoditas ini adalah upaya pengembangan itu harus lah berdampak langsung terhadap penguatan pertumbuhan ekonomi daerah, peningkatan nilai tambah, dan pendapatan serta kesejahteraan petani pekebun rempah.

Berkaitan dengan itu, Rais mengingatkan agar pengembangan perkebunan komoditas rempah itu harus dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif melalui Gerakan Revitalisasi Perkebunan Rempah.

Revitalisasi tersebut meliputi upaya penguatan agribisnis perkebunan subsistem hulu dan upaya pengembangan agribisnis perkebunan hilir.

“Menjadi tantangan tersendiri bagi semua pemangku kepentingan di Maluku Utara untuk mewujudnyatakan jati diri Maluku Utara sebagai Provinsi Rempah (Spices Islands),” ungkap Rais.

Rais Sahan memberikan apresiasi tinggi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Malut, melalui Dinas Pertanian Malut, yang melakukan revitalisasi perkebunan rempah memberikan perhatian penuh bagi pembudidayaan dan pengembangan rempah cengkeh dan pala.

Rais membeberkan satu fakta menarik terkait revitalisasi dimaksud. Pada tahun 2009, Pemprov Malut mengajukan usul ke Pemerintah Pusat agar tanaman pala asal Malut bisa ditetapkan sebagai secara nasional sebagai varietas unggul pala dan sumber plasma nutfah.

Usulan tersebut direspons positif oleh Pemerintah Pusat dengan memutuskan dan menetapkan bahwa tanaman pala khas Malut sebagai varietas unggul nasional, dengan nama Varietas Populasi Pala Ternate I, Varietas Populasi Pala Tidore I, dan Varietas Populasi Pala Tobelo I.

Pertanian cengkeh dan pala di Malut memang begitu gencar digalakkan secara luas demi mengembalikan kejayaan rempah Malut. Sejalan dengan itu, pembinaan dan pengembangan tanaman cengkeh dan pala dilaksanakan secara intensif oleh Pemprov Malut.

Indikator positifnya adalah meningkatnya luas areal lahan pertanian serta bertambahnya jumlah petani yang menanam cengkeh dan pala.

Terlepas dari tren positif itu, ada yang mengganjal di hati dan pikiran Rais Sahan. Apa itu? Rupanya Rais risau menyaksikan kondisi yang ada di Malut sampai saat ini. Betapa tidak. Produktivitas rempah cengkeh dan palu di Malut ternyata tidak berbanding lurus dengan pengembangan hasil rempah khas Malut tersebut sebagai produk yang bernilai tambah.

Rais menilai, upaya pengembangan agribisnis perkebunan rempah Malut di sektor hilir belum menjadi perhatian serius.
“Produksi cengkeh dan pala di Malut memang meningkat, akan tetapi saya berpikir akan jauh lebih memberikan manfaat bagi Malut apabila ada pabrik-pabrik pengolahan produk-produk rempah tersebut,” tutur Rais.
Ekstensivikasi Pengembangan Cengkeh Rais Sahan menaruh perhatian khusus pada pengembangan rempah cengkeh di Malut. Program ekstensivikasi pertanian cengkeh harus digalakkan. Pembudidayaan dan pengembangan rempah cengkeh di Malut menuntut kehadiran dan perhatian dari pemerintah. Ekstensivikasi komoditas cengkeh, bagi Rais, meliputi pembinaan dan pemberdayaan petani dalam rangka memperbanyak dan menjaga kelestarian cengkeh.

Rais menganggap program ekstensivikasi cengkeh ini sangat mendesak dilakukan, Pasalnya, dewasa ini produksi lahan pertanian cengkeh telah mulai banyak berkurang pascaproduksi.
Areal lahan pertanina komoditas cengkeh di Malut juga berkurang akibat alih fungsi lahan, misalnya dijadikan bangunan atau dikonversi menjadi usaha lain. Bagaimana cara menanganinya?

Dalam persepsi Rais, jika usaha pertanian yang berada di wilayah yang padat penduduknya, maka pembangunan di bidang-bidang lain yang potensial mengurangi keluasan lahan pertanian harus dikurangi. Selain itu, dipilih wilayah yang lebih besar sebagai daerah pengembangan pertanian rempah, misalnya Halmahera.

“Mengapa tadi saya bilang perlu hadirnya pemerintah, karena mereka punya program-program itu pasti sebelum ada pembangunan lain mereka sudah tangani,” ujar Rais.
Kehadiran pemerintah juga dimaksudkan sebagai pola panutan sehingga harga produksi itu lebih tinggi. Karena berkaca di jaman Orde Baru, komoditas cengkeh harganya paling bawah di antara komoditas-komoditas unggulan.

Sekarang ini, dari pasar bebas harga cengkeh sudah mulai tinggi. Satu bulan yang lalu, Rais Sahan berkunjung ke daerah penghasil cengkeh di Malut. Saat itu sedang musim panen cengkeh. Saat itu, harga lokal komoditas cengkeh sampai Rp 90.000/kg. Apalagi komoditas pala, fullnya itu bisa sampai Rp 130.000-Rp 180.000/kg.
Cara bertani di Malut, seiring dengan adanya pembinaan dari pemerintah, semestinya menghindarkan para petani terjerat dari sistem ijon. Sekarang sudah mulai tampak perubahan berkat adanya pembinaan dari pemerintah. Pemerintah harus terus melakukan pembinaan-pembinaan kepada para petani cengkeh.

Rais mengaku selalu berkoordinasi dengan pemprov Malut untuk menghadirkan proyek-proyek atau program-program yang melibatkan petani. Ia juga menyuarakan peran serta koperasi dalam hal pemasaran komoditas rempah dari petani.

Rais menyadari kondisi adanya rantai panjang pemasaran produk komoditas petani cengkeh di Malut. Maklum saja, sebagian besar pembeli komoditas cengkeh dan hasil produksi lainnya berasal dari Pulau Jawa.
Kembali ke soal keberadaan pabrik pengolah hasil produksi rempah Malut. Rais Sahan menggarisbawahi pendapatnya bahwa keberadaan pabrik merupakan sebuah keniscayaan.

“Jadi, guna mendukung produksi harus ada pabrik pengolah hasil produksi tersebut sehingga mata rantai pemasaran produk juga dengan sendirinya tidak terlalu panjang,” tegas Rais.

Kontekstual dengan keberadaan pabrik ini, lanjut Rais, Dinas Perdagangan (Kemendag) juga harus hadir di wilayah produksi ini.  Kemendag menyiapkan antara lain fasilitas pasar, peralatan, dan gudang. Kalau ada gudang, maka petani dengan sendirinya begitu panen pasti langsung dikirim ke gudang. Sebab, paskapanen perlu ada perawatan hasil produksi itu sendiri sehingga produksi itu lebih tinggi.

Ketika faktor-faktor tersebut hadir bersama geliat proses produksi, maka pada akhirnya para petani komoditas rempah pasti merasakan nilai tambah dari komoditas hasil pertaniannya.

“Di sini ada sinergi dan simbiosis mutualisme antara dinas pertanian yang mengurui produksi dengan dinas perdagangan yang mengurus aspek perdagangan hasil produksi,” pungkas  Rais Sahan Marsaoly. (Red)